![]() |
Negeri Kaya Potensi Pangan Tanpa Kejelasan Politik Pangan |
Abad Khilafah. Ada rasa geli, miris, aneh, “haru”, dan bercampur malu, saat
mendengar ungkapan petinggi negara ini terkait dengan persoalan pangan
akhir-akhir ini.
Menyikapi harga pangan yang melambung dan cenderung tidak stabil,
Presiden Joko Widodo meminta jajaran TNI dan Polri ikut berperan dalam
menstabilkan harga pangan.
“Soal harga pangan yang tinggi, Polri dan TNI juga saya tekankan
untuk turun ke lapangan. Cek langsung apakah benar tinggi, ada permainan
atau bias-bias lainnya,” kata Jokowi di depan awak media usai
menghadiri rapat pimpinan TNI-Polri (29/01/2016).
Aneh. “TNI dan Polri kok mengurusi harga pangan?” Atas dua anggota
TNI yang sudah “dimasak” di Papua Joko W tidak memerintahkan mereka
untuk menangani kasus teroris itu secara tuntas. Miris bercampur malu,
dunia mentertawakan kita.
Tidak jauh berbeda di beberapa hari sebelumnya, Menteri Koordinator
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani menyatakan
kebiasaan makan nasi lahirkan potensi impor beras.
“Saya juga bingung kenapa ada kebijakan yang mengharuskan orang
Indonesia makan nasi. Maluku itu makan sagu, Papua itu makan ubi, tapi
sekarang mereka makan nasi,” kata Puan di sela peluncuran penyaluran
program Beras Miskin/Beras Keluarga Sejahtera (Raskin/Rastra) 2016
tingkat nasional di Bali, 26/01/2016.
Jika kebiasaan ini tidak dihentikan, Puan khawatir Indonesia akan
mengambil kebijakan impor bahan pangan di luar kebutuhan. “Kadang-kadang
saya berpikir, masa sih negara yang kaya raya ini harus impor,”
ungkapnya.
Bahkan menanggapi harga beras yang kian melambung di Bali, Puan
bergurau “Jangan banyak-banyak makan lah, diet sedikit tak apa-apa.”
Ungkapan “lugu” Presiden dan Menko PMK itu merupakan gambaran nyata
negeri dengan potensi kekayaan suber pangan melimpah, sayang dikelola
petinggi yang tidak memiliki konsep politik ketahanan pangan yang jelas.
Persoalan politik adalah keberpihakan, termasuk dalam politik pangan.
Adanya Strategi Politik Pangan yang jelas akan menggambarkan kejelasan
kepada siapa pemerintah berpihak. Kepada pemodal (yang saat ini menjadi
pengendali ketersediaan dan harga pangan), atau kepada rakyat banyak.
Ketidakjelasan jaminan dari pemerintah atas akses rakyat, di setiap
saat, terhadap pangan untuk mencukupi kebutuhan untuk hidup sehat
(secure access at all times to sufficient food for a healthy life),
cermin abainya pemerintah dalam persoalan pangan.
Negara ini memang memiliki UU tentang ketahanan pangan, yakni
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996, namun wujud nyata Politik
Ketahanan Pangan itu sulit dirasa oleh masyarakat. Strategi politik apa
yang harus dilakukan atas fluktuasi harga pangan di negeri ini,
pemerintah terkesan kebingungan.
Dalam hal ketersediaan pangan, kebijakan negara seringkali hanya
berorientasi pada impor –yang menguntungkan segelintir pengusaha impor–.
Meski Indonesia punya laut sangat luas, garis pantai yang terpanjang
di seluruh dunia, dengan 250 juta populasi / spesies dan 70 ribu pulau.
Indonesia ternyata masih harus mengimpor beberapa jenis ikan, termasuk
ikan asin. Impor besar ikan asin diantaranya dari Tiongkok/China dan
Thailand.
“Hampir seluruh lapak didominasi penjualan ikan asin impor seperti
dari Thailand dan Taiwan,” kata salah seorang pedagang ikan asin di
Pasar Cisaat Kabupaten Sukabumi, Deni Supriadi (Antara Sukabumi,
25/1/2016).
Dalam persoalan akses, pangan kita bermasalah di harga. Kenyataan
harga pangan kita lebih tinggi dibanding negara lain. Harga pangan
Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara seperti Filipina, China,
Kamboja, India, Thailand maupun Vietnam.
Harga daging sapi misalny. Harga daging di pasar dunia hanya Rp
45.000/kg. Di Malaysia harganya Rp 60.000/kg, namun di Indonesia harga
daging sapi di beberapa wilayah bisa mencapai Rp130/kg.
Hakikat politik ketahanan pangan yang benar-benar berpihak pada
rakyat sejatinya memang sangat sulit terwujud di sistem Kapitali seperti
di negeri ini. Karena mekanisme distribusi ekonomi murni diserahkan
kepada pasar.
Negara juga kalah dengan para pemodal. Sehingga dari sisi
ketersediaan, supply pangan selalu dikuasai oleh swasta atau pemilik
modal. Merekalah yang pada akhirnya mengendalikan harga. Akhirnya wujud
nyata politik pangan itu tidak akan pernah berpihak pada rakyat banyak.
Berbeda dengan sistem Islam. Negara bertanggung jawab langsung dalam
menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat. Karena negara adalah
penggembala, pelayan, yang akan diminta akuntabilitasnya di hadapan
Alkah kelak atas rakyatnya. Rasul saw bersabda;
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعٍيَّتِه
“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia akan bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Muslim)
Dalam persoalan askes pangan, negara akan melakukan kebijakan yang menjamin harga benar-benar adil atas harga pasar.
Kenyataan harga barang atau komoditas, termasuk harga pangan adalah
ditentukan oleh pasar. Ini adalah sebuah keniscayaan. Namun, perbedaan
sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah, bahwa dalam sistem
Kapitalis negara berlepas tangan dalam menjaga harga pasar ini.
Pengendali hakiki harga pasar adalah Para Pemodal, sehingga secara
politis keberpihakan “harga pasar” ditentukan oleh para pemodal. “Harga
pasar” yang tercipta di sistem Kapitalis adalah harga pasar atas kendali
para pemodal.
Berbeda dengan Islam, negara akan nenjamin harga pangan pasar yang
benar-benar alami dan adil. Khalifah akan melakukan kebijakan politik
agar harga pangan senantiasa alami dan dapat dengan mudah diakases oleh
kebanyakan masyarakat.
Salah satunya adalah dengan menjamin ketersediaan supply. Bukan
dengan mematok harga. Karena mematok harga pasar diharamkan dalam Islam.
Anas ra. menceritakan:
غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ e
فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ لَنَا.فَقَالَ «إِنَّ اللَّهَ هُوَ
الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ
أَلْقَى رَبِّى وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى
دَمٍ وَلاَ مَالٍ »
Harga meroket pada masa Rasulullah saw lalu mereka (para sahabat)
berkata: “ya Rasulullah patoklah harga untuk kami”. Maka Beliau
bersabda: “sesungguhnya Allahlah yang Maha Menentukan Harga, Maha
Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezki dan aku sungguh
ingin menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang
menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi,
Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad)
Praktek politik pengendalian supply pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra.
Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin
al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash
tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan
pasokan.
Lalu Amru membalas surat tersebut, “Saya akan mengirimkan unta-unta
yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda
(di Madinah) dan dan ekornya masih dihadapan saya (Mesir) dan aku lagi
mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.
Negara juga harus melarang perserikatan/asosiasi produsen, konsumen
atau pedagang yang melakukan kesepakatan, kolusi atau persekongkolan
untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan, misalnya
membuat kesepakatan harga jual minimal. Hal itu berdasarkan sabda Rasul
saw:
« مَنْ دَخَلَ فِى شَىْءٍ مِنْ أَسْعَارِ
الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ فَإِنَّ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ
يُقْعِدَهُ بِعُظْمٍ مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi) dari harga-harga
kaum Muslimin untuk menaikkan haga atas mereka, maka adalah hak bagi
Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat
kelak (HR Ahmad, al-Baihaqi, ath-Thabarani)
Kesempurnaan Politik Ketahanan Pangan dalam Islam ini tidak akan bisa
dipisahkan dengan sistem Islam secara sempurna. Yakni dengan tegaknya
Daulah Khilafah ala Minhaj Nubuwwah. []
Oleh H. Luthfi Hidayat SP., MP.
Post a Comment