
Menko Maritim Rizal Ramli dalam pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya serta Dirjen Pengelolaan Ruang Laut
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti di Kantor
Kemenko Maritim Jakarta, (18/4), menyatakan dalam membuat suatu
kebijakan, perlu memperhatikan kepentingan rakyat, swasta dan negara.
Reklamasi Teluk Jakarta dihentikan sementara hingga proses audit dari Kementerian LHK serta KKP selesai.
Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta
Moestaqiem Dahlan meminta pemerintah tidak menjadikan moratorium
reklamasi untuk sekedar menyenangkan nelayan saja.
Ia meminta moratorium ini jangan hanya jadi penghibur
belaka bagi nelayan Teluk Jakarta karena ini cuma tindakan politik,
tetapi juga dilanjutkan dengan tindakan hukum. Tindakan hukum yang
dimaksud adalah pemerintah segeramenggugat perusahaan pengembang proyek
reklamasi yang terbukti merusak lingkungan.
“Misalnya ada korporasi merusak lingkungan maka pemerintah harus
menggugat perusahaan yang melakukan pengerusakan lingkungan,”
ujarnya. (Kompas, 23/4/16).
Komisi V DPR juga mendesak agar pemerintah pusat segera membuat
keputusan hukum administrasi setelah menghentikan sementara proyek
reklamasi di Teluk Jakarta.
Wakil Ketua Komisi V DPR, Viva Yoga Mauladi, mengatakan keputusan
pemerintah untuk melakukan moratorium atas proyek reklamasi tersebut
sudah tepat. (Bisnis.com, 24/4/16).
Sayangnya, meskipun Pemerintah telah mengeluarkan keputusan
penghentian sementara proyek reklamasi teluk Jakarta, saat ini
megaproyek reklamasi pantai di pesisir Jakarta telah berjalan.
Termasuk di Sektor G yang tengah menjadi sorotan pasca ditangkapnya
Muhamad Sanusi. Alat berat dan Kapal Tongkang masih terus beroperasi di
lahan proyek.
Balada Kasus Hukum Sanusi Dalam Proyek Reklamasi
Setelah menetapkan M. Sanusi anggota DPRD DKI Jakarta sebagai
Tersangka bersama Ariesman Widjaya bos PT. Agung Podomoro Land (APL),
Penyidik KPK tengah mendalami proses penetapan tambahan kontribusi 15
persen yang dimintakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) terhadap perusahaanpengembang.
Besaran kontribusi 15 persen yang hendak dimasukkan Ahok ke dalam rancangan peraturan daerah (raperda) kini menjadi problema.
Komisi Pemberantasan Korupsi mulai menelisik adanya ‘permainan’ dalam
penetapan persentase kontribusi tambahan, yang dibebankan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta kepada perusahaan pengembang dalam proyek reklamasi
pantai utara Jakarta.
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati menjelaskan,
penelusuran mengenai tambahan kontribusi juga menjadi materi pemeriksaan
terhadap Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
“Diduga ada tarik menarik kesepakatan antara pengembang dengan Pemprov DKI mengenai penetapan kontribusi ini,” ungkap Yuyuk. (aktual.com, 12/5/16).
Dalam pemeriksaan terhadap Ahok, perihal penetapan besaran kontribusi
itu juga sempat ditanyakan. Penyidik KPK juga menanyakan hal serupa
ketika melakukan pemeriksaan terhadap tersangka M Sanusi.
Secara terpisah, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama ternyata
mengadakan perjanjian dengan para perusahaan pengembang reklamasi.
Perjanjian ini dijadikan sebagai dasar penarikan kewajiban tambahan
kontribusi dari para pengembang.
Ahok menyebut perjanjian yang dia buat pada rapat tanggal 18 Maret 2014 itu sebagai ‘Perjanjian Preman’.
Pemerintah Provinsi DKI dianalogikan ahok sebagai preman resmi yang
punya kewenangan menarik kewajiban dari perusahaan swasta. Tak hanya
terkait perusahaan pengembang reklamasi, namun penarikan kewajiban dari
perusahaan swasta lainnya juga dilakukan dengan dasar ‘perjanjian
preman’ semacam itu.
Perjanjian dibuat diakui penyebabnya tak ada Peraturan Daerah
(Perda) yang bisa dijadikan landasan kuat penarikan kewajiban tambahan.
Belakangan, Ahok bermaksud memasukkan besaran 15 persen kewajiban
tambahan kontribusi ke dalam Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Pantai Utara Jakarta.
Namun akhirnya DPRD DKI sendiri menolak untuk melanjutkan pembahasan
Raperda itu, seiring kasus suap yang menjerat punggawa DPRD DKI, yakni
Mohammad Sanusi. (Detik,15/05/16).
Jokowi Back Up Penuh Ahok Lanjutkan Reklamasi
Ternyata kekhawatiran WALHI moratorium reklamasi hanyalah basa-basi
dan sekedar untuk mengelabui rakyat dan nelayan pantai utara Jakarta
terbukti.
Pemerintah pusat telah memutuskan melanjutkan pembangunan proyek
reklamasi di Teluk Jakarta. Proyek tersebut di klaim merupakan bagian
dari National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau Garuda
Project.
Keputusan diambil setelah rapat terbatas tentang reklamasi digelar
oleh Presiden Joko Widodo dan dihadiri Gubernur DKI Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok. Setelah rapat, Ahok mengatakan pemerintah pusat dan
daerah akan melakukan sejumlah pembenahan selama moratorium berlangsung.
“Reklamasi semua lanjut. Moratorium 6 bulan ini untuk bereskan mana
pemahaman-pemahaman yang bertabrakan,” kata Ahok di Kompleks Istana,
Rabu, 27 April 2016.
Salah satu pembenahan yang akan dilakukan sebelum melanjutkan proyek
reklamasi adalah revisi keputusan presiden terkait dengan reklamasi,
menyesuaikan aturan baru yang diterbitkan.
Dalam rapat terbatas diatur pembagian izin dan rekomendasi kepada
sejumlah pihak. Pemberian izin dari pemerintah daerah DKI Jakarta akan
diberikan untuk Pulau A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan berwenang memberikan izin bagi
Pulau N, O, P, Q. L. Rekomendasi diberikan oleh Kementerian Kelautan
dan Perikanan. (Detik.com, 27/05/16).
Kapital, Pemegang Kuasa dan Daulat Tunggal Yang Mengatur Negeri ini
Sinema reklamasi teluk Jakarta ini sekali lagi menambah deretan
panjang fakta-fakta yang tidak terbantahkan, bahwa di negeri ini yang
berdaulat adalah modal, bukan rakyat.
Sandiwara politik yang diperankan para aktor dan badut politik
kadangkala dibuat sedemikian rupa untuk mengelabui rakyat, meninabobokan
rakyat, sebelum akhirnya menikam dan menghabisi kepentingan rakyat.
Dalam sistem kapitalisme – demokrasi, pemegang kedaulatan di
dongeng-kan sebagai wewenang dan milik rakyat. Rakyat di bius
dengan slogan “dari, oleh dan untuk rakyat”.
Pada faktanya rakyat hanya dijadikan addres, tidak memiliki wewenang
dan kuasa meskipun hanya seberat biji sawi untuk mengendalikan dan
mengatur kepentingannya. Pemilik saham mayoritas yang memiliki kuasa
tunggal dan otoritatif dalam sistem demokrasi adalah para pemilik modal.
Kaum kapitalis-lah (baca: pemilik modal) yang mampu membiayai para
politisi agar dapat menempuh suksesi politik hingga jenjang tampuk
kekuasaan. Suksesi politik yang mahal dalam sistem demokrasi,
meniscayakan hanya kaum bermodal atau para politisi yang telah
melacurkan diri kepada kaum kapitalis saja yang mampu menduduki kursi
kekuasaan.
Rakyat hanyalah objek sekaligus subjek penderita. Objek penderita,
karena kebijakan dzalim yang digulirkan penguasa bukannya
menyejahterakan malahan menambah beban di pundak rakyat.
Subjek penderita, dimana seluruh keluh kesah dan penderitaan rakyat
selalu di eksploitasi para pejabat dan politisi untuk meng-gol-kan
kepentingan politik partai dan golongan dalam menjalankan pemerintahan.
Pada ritual lima tahunan baik melalui pemilu, Pilkada bahkan Pilpres,
rakyat dikerubuti pejabat dan politisi. Legitimasi yang secara
real memang ada ditengah-tengah rakyat, melalui sihir kampanye dan
politik culas demokrasi, diambil alih dan dijadikan
sandaran argumentasi para penguasa untuk memimpin dan mengatur rakyat.
Jika demikian, sudah sepatutnya rakyat di negeri ini muak pada sistem
demokrasi dan para penguasanya, untuk kemudian segera dan serta merta
mencampakkan sistem demokrasi sekuler ke keranjang sampah peradaban.
Selanjutnya rakyat menyerahkan kedaulatan dan legitimasi hanya kepada
sistem Islam dan para pengembannya. Sebab, hanya sistem islam-lah yang
telah dikabarkan oleh Allah SWT mampu memberikan keberkahan, dunia dan
akhirat.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya. ” (al A’rof: 96). []. Abu Jaisy al Askary
Post a Comment