Gagasan standardisasi ulama yaitu sertifikasi bagi ulama dan mubalig
digulirkan kembali dan kini tengah diperbincangkan di Kementerian Agama.
Pro dan kontra pun mencuatn kembali, baik di kalangan ulama maupun di
masyarakat. Banyak pihak menilai wancana sertifikasi Khatib Jum’at yang
disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dinilai sebagai ide
aneh, upaya pembungkaman ulama.
Terkait kebijakan ini, Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib menyatakan, “Tidak akan ada yang tahu kemuliaan ahli ilmu (ulama’), kecuali orang yang mempunyai kemuliaan.” (Lihat, Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din, hal. 48). Siapa yang layak memberikan sertifikasi ini? Siapakah “orang yang mempunyai kemuliaan” yang pantang memberikan predikat keulamakan kepada para ulama’ itu? Apakah Kementerian Agama pantas memberikannya? Atau bahkan BNPT? Tidak ada yang patut. Bisa jadi memberi gelar ulama’ bagi orang yang berilmu mudah, tetapi predikat ulama’ bagi orang yang paling takut kepada Allah, siapa yang bisa?
Padahal kemuliaan ulama’, yang dipuji oleh Allah, “Sesungguhnya orang yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama’.” (Q.s. Fathir [35]: 27)
Ulama yang mukhlis tidak berdakwah memilih sebatas berada di zona aman dan nyaman; aman dari gangguan para penguasa zalim, nyaman karena kadang mendatangkan materi berkelimpahan. Ulama telah memikul amanah berat. Bagi ulama semua amanah itu lebih berat dari selain mereka dikarenakan ilmu mereka yang menjadikan ulama spesial. Allah SWT telah berfirman:
Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? (QS az-Zumar [39]:9)
Ulama membenarkan kebenaran dan membatilkan kebatilan, merekalah orang yang memiliki keutamaan dan pioner dalam mengatakan kebenaran. Ulama yang mukhlis hanya mencari keridhaan Allah sehingga mereka menjadi tokoh kebenaran yang tidak takut di jalan Allah kepada celaan para pendengki. Siap untuk diisolir lantaran fatwa dan nasehatnya telah membongkar kezaliman penguasa demi membela ad diin.
Tidak bisa disangkal, bahwa ulama’ kaum Muslim mempunyai kedudukan yang istimewa, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga non-Muslim. Melalui jasa para ulama’, pemikiran yang sesat bisa dibongkar, dikalahkan dan pada akhirnya ditinggalkan umat. Kabut keraguan hati dan jiwa pun berhasil disingkap, karena jasa-jasa mereka. Tepat sekali apa yang disabdakan Nabi, “Perumpamaan ulama’ di muka bumi ini ibarat bintang di langit, yang digunakan untuk mendapatkan petunjuk di tengah kegelapan darat dan lautan.” (HR. Ahmad)
Predikat ulama’ dan kemuliaan yang melekat kepadanya diperoleh, selain karena faktor keilmuannya, juga karena sikap mereka dalam mengemban dan menerapkan ilmunya. Mereka menjadi penjaga Islam, amanah terhadap agama Allah. Mereka menyerukan para penguasa untuk menerapkannya dengan tulus, jujur dan jauh dari kepentingan pribadi, harta atau jabatan. Mereka berani mengatakan kepada orang yang zalim, “Anda zalim.” Berani mengatakan kepada ahli maksiat, “Kalian maksiat kepada Allah.” Mereka seperti Sufyan at-Tsauri, Imam Ahmad, Ibn Taimiyyah, ‘Izzuddin ibn Salam dan yang lain. Mereka dikenang oleh umat, bukan semata karena keilmuannya, tetapi karena sikapnya.
Sertifikasi ulama secara syar’i hukumnya haram. Antara lain karena: Sertifikasi tersebut akan mengakibatkan terlantarnya kwajiban yang diwajibkan syara’ atas para ulama; utamanya, kwajiban menyeru umat untuk “iqamah ad-daulah al-khilafah lii tatbiqi syariatillah” dan kwajiban muhasabah lil hukkam;
Selanjutnya bahaya dari sertifikasi mengharuskan para ulama untuk mendakwahkan Islam dan mengajarkan Islam seperti yang dikehendaki oleh kafir barat dan antek-anteknya. Dan itu artinya mengharuskan para ulama untuk “kitman” (menyembunyikan) terhadap ilmu yang diamanahkan Allah pada mereka; dan “kitman” terhadap ilmu hukumnya haram. Menolak keras ide sertifikasi Ulama, yang jelas-jelas melecehkan-mengkerdilkan para ulama, mendiskriditkan Islam serta mencedrai perasaan umat Islam.
Sesungguhnya masyarakat berharap, melihat ulamanya meneriakkan kebenaran yang telah Allah perintahkan kepadanya untuk menampakkannya dan tidak menutup-nutupinya, sehingga masyarakat melihatnya sangat jelas dan terang benderang kebenaran itu.
Oleh: Umar Syarifudin (Pengasuh Majelis Taklim al Ukhuwah)
Terkait kebijakan ini, Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib menyatakan, “Tidak akan ada yang tahu kemuliaan ahli ilmu (ulama’), kecuali orang yang mempunyai kemuliaan.” (Lihat, Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din, hal. 48). Siapa yang layak memberikan sertifikasi ini? Siapakah “orang yang mempunyai kemuliaan” yang pantang memberikan predikat keulamakan kepada para ulama’ itu? Apakah Kementerian Agama pantas memberikannya? Atau bahkan BNPT? Tidak ada yang patut. Bisa jadi memberi gelar ulama’ bagi orang yang berilmu mudah, tetapi predikat ulama’ bagi orang yang paling takut kepada Allah, siapa yang bisa?
Padahal kemuliaan ulama’, yang dipuji oleh Allah, “Sesungguhnya orang yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama’.” (Q.s. Fathir [35]: 27)
Ulama yang mukhlis tidak berdakwah memilih sebatas berada di zona aman dan nyaman; aman dari gangguan para penguasa zalim, nyaman karena kadang mendatangkan materi berkelimpahan. Ulama telah memikul amanah berat. Bagi ulama semua amanah itu lebih berat dari selain mereka dikarenakan ilmu mereka yang menjadikan ulama spesial. Allah SWT telah berfirman:
Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? (QS az-Zumar [39]:9)
Ulama membenarkan kebenaran dan membatilkan kebatilan, merekalah orang yang memiliki keutamaan dan pioner dalam mengatakan kebenaran. Ulama yang mukhlis hanya mencari keridhaan Allah sehingga mereka menjadi tokoh kebenaran yang tidak takut di jalan Allah kepada celaan para pendengki. Siap untuk diisolir lantaran fatwa dan nasehatnya telah membongkar kezaliman penguasa demi membela ad diin.
Tidak bisa disangkal, bahwa ulama’ kaum Muslim mempunyai kedudukan yang istimewa, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga non-Muslim. Melalui jasa para ulama’, pemikiran yang sesat bisa dibongkar, dikalahkan dan pada akhirnya ditinggalkan umat. Kabut keraguan hati dan jiwa pun berhasil disingkap, karena jasa-jasa mereka. Tepat sekali apa yang disabdakan Nabi, “Perumpamaan ulama’ di muka bumi ini ibarat bintang di langit, yang digunakan untuk mendapatkan petunjuk di tengah kegelapan darat dan lautan.” (HR. Ahmad)
Predikat ulama’ dan kemuliaan yang melekat kepadanya diperoleh, selain karena faktor keilmuannya, juga karena sikap mereka dalam mengemban dan menerapkan ilmunya. Mereka menjadi penjaga Islam, amanah terhadap agama Allah. Mereka menyerukan para penguasa untuk menerapkannya dengan tulus, jujur dan jauh dari kepentingan pribadi, harta atau jabatan. Mereka berani mengatakan kepada orang yang zalim, “Anda zalim.” Berani mengatakan kepada ahli maksiat, “Kalian maksiat kepada Allah.” Mereka seperti Sufyan at-Tsauri, Imam Ahmad, Ibn Taimiyyah, ‘Izzuddin ibn Salam dan yang lain. Mereka dikenang oleh umat, bukan semata karena keilmuannya, tetapi karena sikapnya.
Sertifikasi ulama secara syar’i hukumnya haram. Antara lain karena: Sertifikasi tersebut akan mengakibatkan terlantarnya kwajiban yang diwajibkan syara’ atas para ulama; utamanya, kwajiban menyeru umat untuk “iqamah ad-daulah al-khilafah lii tatbiqi syariatillah” dan kwajiban muhasabah lil hukkam;
Selanjutnya bahaya dari sertifikasi mengharuskan para ulama untuk mendakwahkan Islam dan mengajarkan Islam seperti yang dikehendaki oleh kafir barat dan antek-anteknya. Dan itu artinya mengharuskan para ulama untuk “kitman” (menyembunyikan) terhadap ilmu yang diamanahkan Allah pada mereka; dan “kitman” terhadap ilmu hukumnya haram. Menolak keras ide sertifikasi Ulama, yang jelas-jelas melecehkan-mengkerdilkan para ulama, mendiskriditkan Islam serta mencedrai perasaan umat Islam.
Sesungguhnya masyarakat berharap, melihat ulamanya meneriakkan kebenaran yang telah Allah perintahkan kepadanya untuk menampakkannya dan tidak menutup-nutupinya, sehingga masyarakat melihatnya sangat jelas dan terang benderang kebenaran itu.
Oleh: Umar Syarifudin (Pengasuh Majelis Taklim al Ukhuwah)
Post a Comment