Pernyataan Menkopolhukam Wiranto yang berencana membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia, akhirnya menimbulkan beban berat baru bagi pemerintahan Jokowi-JK menjelang dua tahun akhir masa kekuasaan. Beban ini akan semakin berat, tatkala dasar yang dijadikan pengambilan kebijakan tidak memiliki alasan dan bukti yang rasional, bahkan terindikasi kuat melanggar konstitusi. Inilah akibat dari keputusan prematur, sebagai langkah politik balas dendam, yang dipicu kekalahan Ahok di Pilkada Jakarta, dan kekhawatiran menjelang Pilpres 2019. Atau bisa pula dipicu oleh tekanan kekuatan asing yang memang sangat khawatir kebangkitan kekuatan Islam di Indonesia.
Pemerintah seharusnya menyadari HTI sudah menjadi milik rakyat Indonesia, milik generasi reformasi, yang selama 20 tahunan membela kepentingan rakyat ditengah cengkraman kapitalisme yang menyengsarakan masyarakat Indonesia. HTI ini ibarat partai wong cilik baru yang muncul dari kesadaran politik umat Islam. Sehingga tidaklah mudah membubarkan sebuah gerakan dakwah yang sudah menyatu dengan masyarakat sedemikian rupa.
Sikap represif pemerintah yang suka ‘gebuk’ lawan politiknya ini, jelas menuai kecaman luas dari berbagai pihak. Sehingga revolusi mental, berubah seketika menjadi beban mental, dan secara otomatis merupakan beban berat politik yang harus dipikul pemerintahan Jokowi-JK. Setidaknya ekspresi beban ini nampak tatkala Wiranto gusar dengan dukungan publik terhadap HTI. “Saya sungguh prihatin, tatkala tren untuk bela membela ini muncul...” demikian kata Wiranto (tribunnews. com, 15/52017).
Pemerintah pada titik ini, sesungguhnya mengakui bahwa HTI mendapat dukungan publik yang luas, meskipun media-media pro sekularisme berupaya memberitakan pihak-pihak yang mendukung pemerintah, namun tetap saja penguasa tahu bahwa opininya belum berhasil dan cenderung gagal. Salah satu sebabnya adalah sosial media yang secara massif mampu mengimbangi media mainstream. Serta soliditas dukungan jutaan alumni aksi bela Islam 212 terhadap HTI beserta kurang lebih 1000 pengacara yang siap menjadi penasehat hukum HTI. Karena itulah Wiranto sempat mewacanakan libur nasional (baca: blokir) sosial media. Kita memang tidak kaget jika pemerintah mewacanakan itu, sebab salah satu ciri rezim diktator adalah memonopoli informasi dan menutupi kebenaran demi keberlangsungan kekuasaannya.
Akibat tindakan sembrono pemerintah berencana membubarkan HTI, di sebagian daerah muncul tindakan main hakim sendiri terhadap para ulama, tokoh dan aktivisnya, yang dilakukan oleh masyarakat yang terprovokasi pidato rencana pembubaran tersebut. Hal inilah yang menjadi keprihatinan juru bicara HTI, Ismail Yusanto. Ditambah lagi fitnah keji pemerintah yang menyatakan HTI dekat dengan ISIS, semakin menambah semrawutnya hoax yang dibuat pemerintah.
Ismail menegaskan pernyataan tersebut merupakan fitnah besar. “Ini suatu fitnah besar. Hizbut Tahrir tidak memiliki hubungan sama sekali apalagi hubungan dekat dengan ISIS!” tegasnya. Menurut Ismail, sikap HTI terhadap ISIS sangat jelas, yang intinya menolak deklarasi Khilafah ISIS karena dinilai tidak syar’i, jadi bukan hanya tidak ada hubungan tetapi bahkan menolak keberadaan ISIS. Selanjutnya juga melakukan kritik keras terhadap apa yang terjadi di Suriah sana. “Akibat sikap Hizbut Tahrir tersebut, bahkan salah satu anggota senior Hizbut Tahrir dibunuh ISIS,” pungkasnya (mediaumat.com, 21/5/2017).
Sikap pemerintah yang begini rupa, menunjukan pada umat Islam, bahwa sejatinya mereka adalah rezim represif anti Islam. Inilah penilaian objektif publik terhadap penguasa. Lihatlah semenjak umat Islam menuntut keadilan meminta agar penista agama dihukum, satu persatu ulama umat Islam malah dikriminalisasi, sikap kritis umat Islam malah dilabeli makar, para aktivis dan organisasi mahasiswa Islam dicoba dibungkam di kampus atas nama deradikalisasi, ceramah agama mulai kembali diawasi dan seabreg bukti lainnya. Tidak hanya itu, umat Islam mulai diadu domba, buktinya sangat terlihat, ada organisasi keagamaan yang dibenturkan dengan organisasi lainnya. Sikap pemerintah yang secara kasat mata seperti ini, sangat identik dengan rezim orde baru, yang penuh dengan kengerian dan kediktatoran. Entah kebetulan atau tidak, Wiranto sendiri memang dikenal sebagai tokoh militer pada masa orde baru.
Substansi Perjuangan HTI
Setelah berputar-putar mencari justifikasi sikap sewenang-wenangnya terhadap HTI, akhirnya pemerintah menyebutkan satu alasan menggelikan dan dipaksakan bahwa HTI berideologi Khilafah yang akan mengubah Pancasila. Kita sebut menggelikan, sebab semua orang tahu HTI bukan berideologi Khilafah, namun berideologi Islam, sedangkan Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, sebuah ajaran dalam bidang pemerintahan yang dipraktekan para Sahabat Rasulullah Saw, dan ajaran ini sudah disebutkan oleh para ulama berbagai mazhab dalam disiplin ilmu fikih siyasah. Jadi membenturkan Pancasila dengan ajaran Islam jelas kekeliruan dan fitnah besar. Jika pemerintah keras kepala dengan sikapnya yang menjadikan gagasan Khilafah sebagai ideologi lalu dipersepsi mengancam NKRI, maka pemerintah sama saja sedang melakukan kriminalisasi dan monsterisasi ajaran Islam, sikap arogan ini menambah daftar panjang bukti sebagai rezim represif anti Islam.
Pada faktanya, Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam yang setiap kesempatan selalu disampaikan HTI, memiliki karakter yang sama dengan ajaran Islam lainnya, yakni sebagai solusi problematika umat menghadapi tantangan global dan bukan ancaman. Sebab substansi Khilafah itu sendiri adalah syariah, ukhuwah, dan dakwah. Karena Khilafah merupakan institusi pelaksana syariah, mempersatukan umat, dan menyebarluaskan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Nah subtansi ini disampaikan HTI ke masyarakat, tanpa menggunakan cara-cara paksaan apalagi kekerasan, semuanya hanya melalui dialog dan wacana intelektual semata. Sehingga jika baru-baru ini kita mendengar ada provokasi dari ormas tertentu, yakinlah itu hanya sebuah skenario murahan untuk menghadang laju dakwah intelektual ini.
Dalam konteks wawasan kebangsaan –ketika dimaknai sebagai spirit membela negeri, sejatinya gagasan Khilafah tentu ada relevansinya. HTI memandang negeri ini memiliki problem kedaulatan bangsa yang hingga kini belum merdeka sepenuhnya (semisal keterjajahan sektor ekonomi, politik dll), lalu problem persatuan yang sangat rentan (semisal kasus Timor Timur, separatis Maluku dan Papua), serta problem peran negara Indonesia di kancah internasional yang terkesan latah dengan kebijakan negara adidaya (AS, China, dan Eropa). HTI yakin semua problem tersebut bisa diselesaikan menggunakan ajaran Islam.
Problem kedaulatan bisa diselesaikan jika negeri ini menggunakan syariah Islam sebagai aturan berekonomi dan berpolitik, sehingga bisa maju dan menjadi negeri yang mandiri. Sebab ketika syariah Islam digunakan dalam aturan bernegara, otomatis negeri ini tidak akan bisa didikte asing. Sebab syariah Islam bersumber dari al-Quran dan as-Sunah, karena itu standar UU yang lahir pun akan sangat objektif, tidak bisa diutak-atik untuk memuluskan keinginan segelintir golongan atau para kapitalis asing. Karena syariah Islam mampu mewujudkan aturan yang adil dan jauh dari kepentingan, maka sekaligus akan mengeliminir praktik politik transaksional, dan mewujudkan para politisi dan negarawan bermutu yang hidup dan matinya betul-betul didedikasikan untuk kepentingan rakyat.
Problem persatuan yang kini mulai retak pun, bisa diselesaikan dengan syariah Islam, yakni melalui konsep ukhuwah Islamiyah bagi sesama muslim, dan melalui penerapan syariah Islam dalam mengatur interaksi antar sesama rakyat sebagai hukum formal yang berlaku. Sebab syariah Islam sepanjang sejarah gemilangnya, mampu mengatur masyarakat yang plural, tanpa perlu memaksa umat agama lain masuk Islam, caranya syariah Islam secara total dijalankan umat Islam, sedangkan secara umum syariah akan mengatur berbagai urusan publik, semisal hukum pidana Islam yang tegas terhadap pelaku kriminal dan koruptor, penjagaan moral melalui aturan pergaulan Islam, keadilan dan kesetaraan dimata hukum, serta hukuman tegas bagi separatis (bughat) sembari dirangkul disadarkan bahwa separatisme adalah agenda penjajah yang hendak memecah belah negeri ini. Dengan ini problem persatuan akan bisa diselesaikan, dan akan terwujud negara kesatuan yang kuat.
Adapun problem peran negara dalam kancah Internasional, HTI yakin negeri ini bisa menjadi negara adidaya baru, dengan strategi politik luar negeri berupa dakwah dan jihad, yang dibarengi dengan pengelolaan potensi SDA dan SDM yang dimiliki negeri ini. Dakwah sejatinya adalah proses pencerdasan dan peninggkatkan taraf berpikir masyarakat, dari taraf berpikir rendah dalam kehidupan kelam yang amoral dan terbelenggu ideologi kapitalisme-sekular, menuju kehidupan Islam yang mulia dan gemilang. Sedangkan jihad adalah pembebasan dari belenggu penjajahan dan eksploitasi negara-negara imperialis. Terlebih strategi jihad sangat relevan bagi Indonesia, untuk bisa berperan serta secara aktif “menghapuskan segala bentuk penjajahan diatas dunia” sebagai mana amanat pembukaan undang-undang dasar. Dengan ini Indonesia bisa berperan untuk membantu negeri-negeri yang dilanda konflik dan negeri muslim yang sedang dijajah, seperti Palestina, Suriah, Irak, Afghanistan dll, untuk keluar dari krisis kemanusiaan sekaligus menghukum pihak yang menjadi dalang penjajahan dan menghentikan meluasnya imperialisme di permukaan bumi ini.
Dengan demikiran gagasan Khilafah Islamiyah sebetulnya sangat relevan dengan konteks Indonesia dan gagasan tersebut mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan, menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yang sangat dinantikan masyarakat Indonesia. Karena itu tidak mengherankan, jika gagasan HTI mendapat dukungan dan simpati dari masyarakat luas. Sebab rakyat bisa menilai, Indonesia setelah mengalami pergantian orde, dari orde lama, orde baru, orde reformasi hingga kini, terasa sekali semakin jauh dari cita-cita kemerdekaannya. Nah disinilah peran HTI menawarkan gagasan baru (yang bersumber dari ajaran Islam) untuk keluar dari kondisi Indonesia yang terpuruk ini, menuju sebuah kehidupan Islam, orde Khilafah, sebuah kehidupan yang diridhai Allah swt. Karena itu, selayaknya gagasan HTI jangan dianggap ancaman, sebab itu baru wacana, dan wacana itu bukan HTI yang akan mewujudkanya, namun semuanya diserahkan kepada rakyat, jika seluruh rakyat Indonesia bersama para tokohnya menghendaki orde Khilafah demi kebaikan bersama bagi bangsa yang besar ini, mengapa tidak? Wallahu a’lam.
Penulis : Yan S. Prasetiadi, M.Ag - Dosen dan Penulis (Visi Muslim / https://goo.gl/2xKfwu)
Post a Comment