Pentingnya Keberadaan Poros Politik Islam Dalam Kehidupan Kaum Muslim |
Abad Khilafah. Allah SWT menciptakan manusia dan melengkapinya dengan berbagai
karakteristik serta sifat tertentu yang secara istilah disebut dengan
kebutuhan jasmani (al-hajāt al-‘udhawiyah) dan naluri-naluri (al-gharāiz). Kebutuhan jasmani (al-hajāt al-‘udhawiyah) dan naluri-naluri (al-gharāiz)
ini yang mendorong manusia untuk beraktivitas guna memuaskannya sesuai
dengan pemikiran dan pemahamannya tentang sesuatu. Gerakan untuk
memuaskan ini pasti menciptakan bermacam jenis hubungan dengan sesama
manusia, sehingga hal ini menuntut pengorganisasian (pengaturan)
hubungan—jadi, semua itu memerlukan sistem terlepas darimana sumbernya,
apakah dari manusia sendiri dan mereka menyetujuinya, atau dari pencipta
manusia—begitu juga masyarakat terbentuk dengan adanya
komponen-komponen ini: al-insān (manusia), al-afkār (pemikiran), al-masyā’ir (perasaan) dan an-nizām (sistem).
Selaras dengan ini, maka secara alami ketika muncul komunitas manusia
akan tampak di antara para anggota komuntas yang menonjol dan
mendominasi beberapa sifat naluriahnya, serta menggunakan karakter
kepemimpinan dalam kepribadiannya, lalu mendorong dirinya untuk menjadi
kepala dan pemimpin bagi komunitas (masyarakat) tersebut. Dengan
demikian, lahirlah negara, kerajaan dan kekaisaran. Dalam hal ini,
sejarah telah dipenuhi banyak bukti tentang lahirnya negara dan
kerajaan. Sehingga ada penguasa, kepala negara, sekretaris negara, dan
para pembantunya (menteri). Terkadang ada “Dewan” yang mewakili rakyat
lainnya, seperti era kekuasaan Yunani, Romawi dan raja-raja Mesir kuno,
di mana Allah SWT dalam Al-Qur’an menyebut mereka dengan al-Mala’ (orang-orang terkemuka).
﴿يَا أَيُّهَا الْمَلأُ أَفْتُونِي فِي رُؤْيَايَ إِن كُنتُمْ لِلرُّؤْيَا تَعْبُرُونَ﴾
“Hai orang-orang yang terkemuka: Terangkanlah kepadaku tentang takwil mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkan mimpi.” (TQS. Yusuf [12] : 43).
Mereka itu mencerminkan apa yang kita sebut hari ini dengan “poros politik”.
Poros politik adalah para politisi, atau mereka yang melakukan
aktivitas politik dalam arti yang sebenarnya, yaitu mengurusi urusan
rakyat, baik mereka berada dalam kekuasaan atau tidak, serta mereka yang
terus mengikuti berita-berita politik dan aktivvitas politik, serta
mengikuti berbagai insiden, agar mereka bisa memberikan pendapatnya
terkait semua itu melalui sudut pandang tertentu dalam rangka mengurusi
urusan rakyat.
Sebelum Rasulullah saw diutus, kaum kafir Quraisy adalah pemimpin
bagi suku-suku Arab, dan ada bentuk pemerintahan yang tercermin dalam
“Dewan” bagi para pemimpin dan para kepala suku yang bermacam-macam
dalam kaum kafir Quraisy, yang disebut dengan “Dār an-Nadwah”.
Di “Dewan” inilah mereka berkumpul, berkonsultasi dan membuat
keputusan. Dengan demikian, mereka adalah poros politik yang berkuasa di
Mekkah. Dan ketika Rasulullah saw diutus, mereka menyadari betul
dimensi dan tujuan dari dakwah Muhammad saw, sehingga mereka menawarkan
kekuasaan kepada beliau dengan syarat beliau harus meninggalkan
dakwahnya, namun beliau menolaknya dan terus berdakwah hingga Allah
memenangkannya, dengan adanya respon dari Madinah dan kaum Anshar
terhadap dakwahnya. Kemudian beliau mendirikan negaranya di Madinah
al-Munawwarah dengan model yang khas, tiada duanya, dan tidak ada negara
di dunia yang menyerupainya, dimana Muhammad saw sebagai pemimpinnya
dan penguasanya, Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber konstitusinya,
dan para sahabatnya yang mulia sebagai kekuatan yang mencerminkan poros
politiknya. Lihatlah, Abdullah bin Abdullah bin Ubai bin Salul yang
meminta izin pada Rasulullah saw untuk membunuhayahnya karena apa yang
dikatakannya tentang Rasulullah saw, namun Nabi saw melarangnya, dan
memerintahkan Abdullah agar memperlakukan ayahnya dengan baik.
Dalam era kekhilafahan Umar radhiyallahu ‘anhu, seorang wanita berdiri mengoreksi beliau terkait kasus sosial dan politik tentang masalah pembatasan jumlah mahar, lalu Amirul Mukminin
mencabut kembali keputusannya. Dalam kekhilafahan Bani Umayyah, setelah
Muawiyah bin Yazid melepas kekhilafahan—dan kematiannya kemudian—maka
Bani Umayyah sebagai poros politik bertemu dalam sebuah pertemuan yang
terkenal di Jabiya, dan mereka memberi kekuasaan kepada Marwan bin
Hakam. Seandainya itu tidak ada, niscaya kekhilafahan mereka tumbang dan
berakhir, sebagaimana yang dikatakan oleh para sejarawan.
Demikianlah poros politik dalam negara Khilafah Islam yang berperan
sebagai katup pengaman, dan salah satu bentuk tekanan politik, koreksi,
serta pengendalian sistem bagi siapa pun yang berkuasa agar tidak
menyimpang dari hukum Allah SWT. Namun ketika Khilafah telah tumbang,
dilenyapkan oleh kaum kafir penjajah, dan negeri-negeri kaum Muslim
dikapling, sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam sudah lenyap,
begitu juga dengan poros politiknya, meraka memaksakan sistem
pemerintahan dan para penguasa yang tidak berhukum dengan Islam, tidak
dengan sistem yang khas dan unik, tidak dengan kapitalisme atau
komunisme, namun lebih dekat pada sistem gado-gado yang tambal sulam
pada bebrapa negara dengan sebagian hukum Islam yang tidak melayani dan
menjaga kecuali untuk kepentingan Barat dan kepentingan para penjaganya
di antara para penguasa kaum Muslim, termasuk upaya Barat dan
negara-negaranya untuk menciptakan kelas politik yang terdiri dari para
pemikir, politisi, “ulama” dan penentu opini di negeri-negeri kaum
Muslim yang akan mengembang pandang hidup Barat, sehingga terbentuk
poros-poros politik yang terkontaminasi dan rusak, dengan tugas
melindungi rezim dan menghiasnya untuk masyarakat umum, bahkan sekalipun
mereka berada di jajaran yang disebut oposisi. Sedangkan kemiskinan,
kesempitan, kezaliman dan ketidakadilan yang menyelimuti kondisi kaum
Muslim di negerir-negeri mereka, maka semua ini terjadi sebagai
konsekwensi yang alami dari keberadaan mereka para boneka Barat yang
memimpin pengelolaan negara dan rakyat. Mereka memimpin lembaga-lembaga
negara di bidang ekonomi, pendidikan, dan administrasi. Mereka memimpin
media yang menjadi pelindung terkuat dan penting dalam pemciptaan opini
umum dan pengaruhnya, tidak hanya dalam ide-ide individu, tetapi juga
dalam kecenderungan dan perasaan masyarakat di semua aspek kehidupan.
Mereka adalah para penjaga untuk setiap sendi dari negara-negara miskin.
Oleh karena itu penting dan harus bagi siapa saja yang ingin mengubah
realitas negeri-negeri kaum Muslim untuk memperhatikan mereka ini dan
membongkar rusaknya ide-ide mereka, dan menghancurkannya sejak dari
asasnya yang rusak, dan hendaknya tidak jatuh ke dalam perangkap
perubahan dari dalam, sehingga tidak menjadi bagian dari pusat-pusat
kerusakan dengan dalih ilusif untuk mempercepat perubahan dan segera
melihat hasilnya, seperti yang diyakini oleh bebrapa orang, sehingga
diterapkan kepada mereka ini sabda Rasulullah saw:
«فَإِنَّ الْمُنْبَتَّ لاَ أَرْضًا قَطَعَ وَ لاَ ظَهْرًا أَبْقَـى»
“Membebani kendaraan melebihi kemampuan, mengakibatkan terputusnya perjalanan dan hilangnya kendaraan.” (HR. Bazzar, Abu Nu’aim, Hākim dan Baihaqi dalam Syu’abul Imān dari Abu Hurairah).
Juga, harus berusaha untuk membangun dan menciptakan poros politik di
masyarakat yang akan menjadi alternatif yang siap saat terjadi
perubahan rezim, dan ini adalah tugas partai ideologis dalam masyarakat,
artinya hanya partai ideologis yang akan menciptakan poros politik
seperti ini.
Sungguh Allah SWT telah mengaruniai kami dengan mengadakan partai
seperti ini di dunia nyata yang diwakili oleh Hizbut Tahrir, yang
didirikan oleh al-‘Alim al-Azhari Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani pada
dekade lima puluhan abad lalu, dimana Hizbut Tahrir tengah beraktivitas
di tengah-tengah umat dan bersama umat untuk melanjutkan cara hidup
Islam dengan mendirikan negara Khilafah melalui cara dan metode
Rasulullah saw, serta metodenya dalam membina umat dengan tsaqafah
(pemikiran) Islam yang benar, sehingga umat dapat berinteraksi dan
mengemban ide ini, serta mengawal Hizbut Tahrir dan para anggotanya
untuk sampai pada tahap pemerintahan dan penyerahannya untuk penerapan
Islam secara praktis dan mewujudkannya dalam kehidupan nyata, juga
menghapus dan memotong setiap yang memiliki hubungan dengan kekufuran,
negara-negaranya dan boneka-bonekanya (alraiah.net, 6/1/2016).
Sumber : Hizbut Tahrir
http://hizbut-tahrir.or.id/2016/01/18/pentingnya-keberadaan-poros-politik-islam-dalam-kehidupan-kaum-muslim/
Post a Comment