![]() |
Hak Asasi Manusia (HAM) Barat, Ide Berbahaya & Merusak Islam |
Abad Khilafah. Untuk yang kesekian kalinya, di negeri ini suara sumbang HAM (Hak
Asasi Manusia) dinyanyikan untuk membela kepentingan ide menyimpang
sekaligus untuk menohok keagungan ajaran Islam.
Mulai dari pegiat LGBT, menjadikan HAM sebagai dalih atas penyakit
jiwa dan penyimpangan seksual yang mereka derita. Tanpa berpikir bahwa
ide ini yang menabrak hak melahirkan, hak mengandung, dan hak menyusui
seorang ibu dari pernikahan manusia normal. Perilaku LGBT justru
meniscayakan terhambatnya hidup manusia, karena perilaku ini mustahil
melahirkan generasi. LGBT justru bukti pelanggaran nyata terhadap hak
hidup manusia.
Menteri dalam negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo secara sepihak
mengatkan bahwa Perda Jilbab di Aceh melanggar HAM. Tanpa mengetahui
secara cermat pesoalan di lapangan. Dia mengatakan “Pemda Aceh
mengeluarkan aturan wajib memakai jilbab bagi wanita, sementara
masyarakat di Aceh ada yang beragama non muslim.” ujar Tjahjo
(NBCIndonesia.com,23/2/2016).
Menanggapi pernyataan Mendagri tersebut, Wakil Ketua MPU Aceh,
Tengku. H. Faisal Ali menyatakan bahwa Tjahjo Kumolo tampaknya tidak
memahami payung hukum Aceh, yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintah Aceh.(Islammedia.com)
Tjahjo juga lupa, bahwa di Bali tidak semua orang beragama Hindu,
tapi peraturan nyepi tetap saja diberlakukan untuk semua orang, tanpa
memandang agama. Dan tidak ada suara sumbang HAM atas hak tidak nyepinya
kaum muslimin di sana.
HAM juga dijadikan alibi untuk memaksakan kehendak minoritas atas
mayoritas dengan alasan kebebasan beragama. Termasuk mengacak-ngacak
agama Islam seperti yang dilakukan oleh Jama’at Ahmadiyah. Namun saat
mayoritas Kristen membakar masjid di Tolikora, pegiat HAM bungkam.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, yang mempropagandakan kemusyirikan,
menebar dan mengagungkan patung di berbagai sudut kota, serta dengan
arogan mencabik-cabik Hak Asasi Beragama Mayoritas, justru diberi
penghargaan oleh komnas HAM. Sementara daerah-daerah yang menjaga akidah
dan nilai-nilai Agama dari rongrongan kelompok Ahmadiyah justru dicap
pelanggar HAM oleh komnas HAM.
Rangkaian jejak rekam alibi HAM di atas, terlihat jelas bahwa HAM
tidak lebih dari sekedar instrument pihak-pihak tertentu untuk
melegalisasi berbagai penyimpangan, sekaligus menohok Islam dan kaum
muslimin yang ingin menjalankan hak beragamanya dengan baik.
Namun demikian, hal ini sebenarnya tidak aneh, mengingat HAM adalah
“barang impor” dari Barat yang bertentangan secara diametral dengan
akidah Islam, mayoritas agama di negara ini.
Tahun 1996, sebelum HAM ini benar-benar menjadi alat propaganda
pegiatnya, Hizbut Tahrir telah menjelaskan kerusakan filosofi HAM ini
dalam kutayyib (buku kecil) yang berjudul; al Hamlah al Amirikiyyah lil
qadha’i ‘alal Islam/Serangan ide-ide Amerika untuk menghancurkan Dunia
Islam”.
Ide HAM ini bermula dari pandangan filosofi Barat yang keliru atas;
tabiat manusia, interaksi individu dengan komunitas di masyarakat,
hakikat masyarakat, dan fungsi negara dalam memberikan perlindungan
kepada rakyatnya.
Atas tabiat manusia, Barat memandang bahwa tabiat dasar manusia
adalah benar, tidak salah. Menurut mereka kesalahan terjadi justru
ketika dilakukan pengekangan atas keinginan tabiat asli manusia itu.
Karenanya wajar di dunia Barat selalu mengagung-agungkan ide kebebasan.
Bahkan ide ini selalu menjadi inspirator dalam berbagai sisi kehidupan.
Ada kebebasan beragama (berakidah), kebebasan berpendapat (berbicara),
kebebasan berekonomi (memiliki), dan kebebasan dalam berperilaku. Semua
tindak kebebasan ini akan sah dengan alasan HAM.
Kemudian segi hubungan antara ibdividu dengan komunitas di
masyarakat. Barat melihat bahwa hubungan antara individu dengan
komunitas di masyarakat adalah hubungan kontradiktif. Keinginan individu
berbeda dengan keinginan masyarakat. Selanjutnya pandangan ini
memenangkan kepentingan individu atas kepentingan masyarakat. Pola hidup
individualis pada akhirnya menjadi ciri khas yang menonjol di
masyarakat Barat.
Adapun tentang hakikat masyarakat, Barat memandang bahwa masyarakat
adalah kumpulan dari individu-individu yang hidup di suatu tempat. Maka
saat sempurna jaminan atas individu, akan sempurna pula jaminan atas
masyarakat. Perhatian terhadap problematika masyarakat cukup dan
bertumpu pada persoalan individu.
Sehingga peran negara dalam filosofi Barat adalah semata menjamin
terealisirnya hak-hak individu dalam masyarakat. Negara seringkali
“kalah” saat individu menggugat untuk diberikan perlindungan atas
hak-hak asasinya. Contoh dilegalkannya LGBT di beberapa negara Barat
merupakan bukti nyata kekalahan negara dan masyarakat, atas kepentingan
individu.
Jika ditelisisk secara jernih, pandangan Barat tersebut adalah
keliru. Tabiat dasar manusia itu hakikatnya tidak bisa dikatakan baik,
atau juga tidak bisa dikatakan buruk –seperti yang diungkap oleh gereja
dengan konsep dosa warisan–. Yang benar adalah, bahwa pada manusia ada
memiliki potensi kehidupan, yakni potensi naluri (gharizah) dan potensi
hajat/fisik (hajat adhawiyah) yang keduanya memerlukan pemenuhan. Selain
juga juga, pada manusia ada potensi –keutamaan– akal yang memberi
kemampuan bagi manusia untuk memilih cara yang baik atau yang buruk
dalam pememenuhan kedua potensi hidup tadi. Jika dia memenuhi dengan
cara yang benar maka perbuatannya dikatakan baik, dan jika dilakukan
dengan cara yang salah, maka dikatakan perbuatan buruk.
Jadi hakikatnya manusia memiliki pilihan untuk melakukan perbuatan
baik atau buruk sesuai keinginannya. Inilah pandangan yang diberikan
oleh Islam. Firman Allah SWT:
(وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا)
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan/keburukan dan ketakwaan/kebaikan-nya. [Surat Ash-Shams 7-8]
Demikian pula Firman-Nya;
(وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ)
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (yakni kebaikan dan keburukan),”[Surat Al-Balad 10]
Hubungan individu dengan masyarakat juga bukan hubungan
kontradiktif sehingga harus memenangkan perilaku individu. Bukan pula
individu bagaikan gerigi dalam roda –seperti pandangan Sosialias
terhadap masyarakat–. Hakikat hubungan individu dalam masyarakat adalah
layaknya anggota badan dengan tubuh. Badan tidak akan sempurna jika
tidak ada mata, tangan atau kaki. Sementara tangan tidak berarti apa apa
jika tidak melekat pada tubuh. Keindahan hubungan individu dengan
masyarakat terurai jelas dalam sabda Rasulullah saw.
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ
وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ
فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ
الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى
مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا
وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا
هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا
جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal. Lalu sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas, dan sebagian lagi di bagian bawah perahu. Kemudian orang yang berada di bawah perahu, bila mereka mencari air untuk minum mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas seraya berkata; “Seandainya boleh kami lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami”. Bila orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu maka mereka akan binasa semuanya. Namun bila mereka mencegah dengan tangan mereka maka mereka akan selamat semuanya”. (HR. Bukhari)
Adapun tentang fakta masyarakat, bahwa masyarakat hakikatnya bukan
sekedar sekumpulan individu yang hidup pada suatu tempat. Terwujudnya
suatu masyarakat selain ada manusia (individu), juga meniscayakan adanya
pemikiran, perasaan, dan peraturan, untuk terwujudnya hubungan yang
kontinyu (masyarakat). Sekedar kumpulan individu tidak layak dikatakan
sebuah masyarakat. Hanya sekedar kumpulan atau kelompok orang-orang
unsich.
Demikian pula sejatinya peran negara. Negara bukanlah sarana untuk
melindungi –kebebasan– perilaku individu semata. Sejatinya negara adalah
institusi yang mengurusi persoalan individu, jama’ah, dan masyarakat,
baik untuk persoalan dalam negeri maupun luar negeri, dengan sebuah
sudut pandang yang menjamin hak dan kewajiban warga masyarakatnya secara
utuh. Ini merupakan tugas kemanusiaan adanya negara, sehingga akan akan
terwujud peradaban yang memanusiakan manusia.
Karenanya, HAM dalam pandangan Barat memiliki akar filosofis yang
cacat dari awalnya. Dan saat ide ini dijajakan di negeri-negeri Islam,
tidak lebih dari sekedar untuk menghancurkan entitas masyarakat muslim
yang memiliki identitas, sekaligus sebagai legitimasi untuk menjajal
ide-ide Barat yang rusak. Kaum muslimin wajib menentang keras ide HAM
ini dan membongkar “bau busuk” yang melekat padanya.[]
Oleh Luthfi Hidayat (Lajnah Tsaqafiyah HTI DPD I Kalimantan Selatan)
Sumber : Hizbut Tahrir
http://hizbut-tahrir.or.id/2016/02/29/hak-asasi-manusia-ham-barat-ide-berbahaya-merusak-islam/
Post a Comment