Abad Khilafah. Papua terancam memisahkan diri dari Indonesia. Pimpinan gerakan Papua
Barat, Benny Wenda, menyampaikan kembali tuntutan untuk pemungutan
suara bagi masa depan politik Papua.Kali ini dia menyampaikannya lewat
konferensi pers di sebuah hotel berbintang empat di pusat kota London,
menjelang pertemuan dengan beberapa anggota parlemen Inggris, Selasa
(03/05).
Lewat pernyataan persnya, Wenda mengatakan selain penegakan hak asasi
manusia di Papua Barat, Gerakan Bersatu Pembebasan Papua Barat (ULMWP)
juga menuntut penentuan nasib sendiri untuk masa depan politik.”Gerakan
kami yakin satu-satunya cara untuk mencapainya dengan damai adalah
melalui proses penentuan nasib sendiri yang melibatkan pemungutan suara
yang diawasi secara internasional.”
Staf khusus presiden soal Papua, Lenis Kogoya, mengaku tidak tahu
soal pertemuan internasional tentang kemerdekaan Papua yang
diselenggarakan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) di
London, Selasa (03/05). “Aku baru tahu informasi hari ini jadi
berkomentar juga tidak tahu nanti malah saya disalahin. Lebih baik nanti
dulu,” kata Lenis kepada BBC Indonesia, Selasa kemarin.
Humanitarian intervention sebagai lagu lama untuk alasan AS dan
sekutunya untuk merampok setiap negara target, melakukan agresi terhadap
negara lain dengan atau tanpa persetujuan DK PBB. Agenda utamanya
sesungguhnya adalah penguasaan sumber daya alam. Dalam bahasa sederhana,
humanitarian intervention adalah cara “legal” negara agresor melakukan
invasi militer untuk menumbangkan rezim suatu negara karena negara
tersebut dianggap telah mengusik kepentingannya. Papua dipandang sebagai
wilayah yang memiliki potensi ekonomi bagi kantong negara-negara
Agresor dan zionis, seperti Amerika Serikat dan sekutunya.
Propaganda-propaganda dan penggiringan politik atas dasar sentimen
etnis, agama, dan ideologi menjadi andalan AS dan antek-anteknya untuk
merealisasikan tujuan intervensinya.
Bagian dari skenario AS dan Uni Eropa untuk mencaplok Papua dari
Indonesia, Parlemen Internasional untuk Papua Barat atau International
Parliamentarians for West Papua (IPWP) menggelar pertemuan di London,
Inggris, pada Selasa 3 Mei 2016. IPWP mendukung disintegrasi Papua.
Sejumlah anggota parlemen dari beberapa negara Pasifik dan Inggris telah
membuat deklarasi di London yang menyerukan kepada dunia internasional
untuk mengawasi pemilihan pada kemerdekaan Papua Barat. Menurut kelompok
Pembebasan Papua Barat, pemimpin oposisi Inggris, Jeremy Corbyn, yang
kembali memberikan dukungannya untuk perjuangan Papua Barat untuk
pembebasan dan mengatakan bahwa ia ingin menuliskannya menjadi bagian
dari kebijakan Partai Buruh, seperti dikutip dari Radio New Zealand,
Rabu, 4 Mei 2016.
Menelaah internasionalisasi isu Papua di tahun 2016 yang makin
agresif dengan munculnya desakan Parlemen Nasional West Papua (PNWP)
kepada Pemerintah Indonesia, International Parliamentarians for West
Papua (IPWP), International Lawyers for West Papua (ILWP), dan United
Liberation Movement for West Papua (ULMWP), agar mengakui ULMWP sebagai
badan koordinasi dan persatuan yang mewakili seluruh kepentingan bangsa
Papua yang bertempat tinggal di wilayah Papua dan Papua Barat.
Keberadaan IPWP dan ILWP sendiri tidak lepas dari peran sejumlah anggota
parlemen dan pengacara asing seperti Richard di Natale maupun Jennifer
Robinson yang memberikan dukungan Benny Wenda, pada aktivis OPM yang
mendapat suaka di Australia. Jennifer Robinson (pengacara Australia
simpatisan OPM) sendiri aktif menggalang konferensi sejumlah pengacara
di Oxford, Inggris dalam International Lawyers for West Papua (ILWP)
yang mendorong agar persoalan Papua dibawa ke Mahkamah Internasional.
Tak luput juga, pressure politic kelompok seperti PRD, KNPB, ULMWP
dan organ simpatisannya tentu saja harus diwaspadai sebagai bentuk
ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia untuk menjaga kedaulatan
dan eksistensi Papua. Kelompok ini tidak lebih dari kelompok elitis
yang tidak memiliki basis massa yang jelas, ahistoris terhadap persoalan
Papua dan tidak memahami aspirasi masyarakat Papua secara luas.
Bahkan, sangat terbuka kemungkinan bahwa kelompok ini bekerja untuk
kepentingan asing dengan mengeksploitasi isu-isu Papua untuk menutupi
kepentingan tersembunyi atau hidden agenda menguasai sumber daya
strategis di Papua.
Aksi propaganda yang kontra dengan aspirasi mayoritas masyarakat
Papua ini dapat dilihat dari seruan organ Parlemen Rakyat Daerah/PRD
wilayah Merauke pada 11 April 2016 di Distrik Merauke, Papua. PRD
secara aktif membujuk masyarakat Papua untuk mendukung kelompok yang
menyebut dirinya sebagai Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau
United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi anggota tetap
Melanesian Spearhead Group (MSG), dan menuntut diadakannya referendum
bagi West Papua yang akan dibahas pada pertemuan International
Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London-Inggris pada 3 Mei
2016.
Aksi dukungan serupa juga dilakukan oleh kelompok yang menyebut
dirinya sebagai Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dengan menggelar
unjuk rasa pada 13 April 2016. Bahkan, KNPB secara aktif melakukan
tindakan yang mengarah pada provokasi dengan menstigma Indonesia sebagai
penjajah kolonial dan meski menyatakan menentang setiap bentuk upaya
penegakan hukum yang dapat saja berimplikasi pada penggunaan kekuatan
paksa, sulit untuk dipungkiri bahwa propaganda KNPB dapat menjadi sumber
inspirasi radikalisme dan tindak kekerasan massa.
Segelintir orang ini mengorganisir diri melalui sejumlah komite aksi
yang bergerak melalui jalur diplomasi politik, baik dalam negeri maupun
internasional. Mereka diikat dengan tujuan yang sama yakni menggalang
dukungan untuk memisahkan diri dari NKRI dengan segala macam upaya, baik
yang moderat melalui referendum dan diplomasi politik, maupun garis
keras dengan gerakan separatis bersenjata. Kelompok yang bergerak dalam
negeri mendomplengi isu-isu demokrasi, kebebasan, dan Hak Asasi Manusia
(HAM). Mereka secara intensif melakukan aksi-aksi ekstra parlementer
dengan menggelar rally, unjuk rasa, forum diskusi, seminar, advokasi,
propaganda dan membentuk opini untuk mendiskreditkan pemerintah dan
menggalang dukungan referendum yang muaranya pemisahan diri dari
Indonesia.
Taktik pendekatan agama oleh Mossad, lembaga intelijen Israel adalah
dengan menawarkan berbagai investasi bagi organisasi-Organisasi Kristen
dan katolik serta bekerja sama dengan pemerintah daerah Papua. Di Papua
Barat, ada Jaringan Doa Sahabat Sion Papua (JDSSP) yang dibentuk dibawah
pengawasan PGGP (Persatuan Gereja-Gereja Papua), semua wakil dari
denominasi gereja ada disitu dalam misi khusus mendoakan bangsa Israel.
Selain CIA, mengapa AS menggunakan juga Mossad untuk mengacak-acak
Papua? Bisa terbaca, AS dalam struktur ekonomi-politik kebijakan dalam
dan luar negerinya tidak terlepas dari pengaruh organisasi-organisasi
seperti: Federal Reserve, CFR, Bilderbelger, Club of Roma, Trilateral,
dsb. Yang tidak lain tujuan organisasi-organisasi ini merealisasikan
protokol Zionis.
Fakta lain, kedok Mossad tampak dalam agitasi propaganda di Papua
Barat. Tidak perlu heran bila gerakan zionis melakukan provokasi di
basis-basis Kristen. di Jayapura dikenal dengan gerakan Zion Kids,
gerakan yang kini berhasil menghimpun seperempat umat Kristen di Tanah
Papua. Sebagian dari aktivis Papua Merdeka dan lebih banyak dari kaum
moralis, Pdt/Pastor. Sementara di kubu Aktivis Papua Merdeka, mereka
yakin hanya Israel yang mampu mengibarkan bintang Kejora di Papua Barat
pada tahun 2010. karenanya, Mossad melalui agen intelijen dari Israel
yang akhir-akhir ini massif melakukan kampanye sekaligus konsolidasi
massa melalui agen-agennya yang sudah terekrut di Papua dalam format KKR
dan Pelayanan Rohani dan lain-lain. Isu yang mereka suarakan mereka
bahwa bila Papua Mau Merdeka, orang Papua Barat dan lebih khusus TPN/OPM
harus memaafkan TNI/POLRI serta Pemerintah RI yang menindas rakyat
Papua Barat.
Propaganda dan pemutarbalikan fakta menjadi strategi untuk
mendiskreditkan pemerintah. Isu pelanggaran HAM, represi atas kebebasan
berserikat dan politik, stigma pemerintah Indonesia sebagai penjajah
kolonial, dan integrasi Papua sebagai wilayah sah dan berdaulat NKRI
merupakan bentuk aneksasi, ditebarkan untuk meraih simpati dalam negeri
maupun komunitas internasional. Kelompok ini mencitrakan diri seolah
civil society yang berjuang untuk kemanusiaan dan HAM, padahal di balik
itu tak lebih adalah para aktivis yang menyebarluaskan kebencian
terhadap NKRI dan baik langsung maupun tidak langsung dapat
dikategorisasikan sebagai bentuk dukungan upaya subversif dan
separatisme. pemerintah harus melawan upaya pembebasan Papua Barat.
Merebaknya disintegrasi tidak bias dilepaskan dari ketidakadilan ekonomi
akibat kapitalisme yang terus merongrong negeri ini.
AS dan sekutunya yang berdalih melindungi HAM, hingga kini sedang
menunggu-nunggu kesempatan melakukan operasi militer di Indonesia atas
nama humanitarian intervention. Bukan tidak mungkin tentara dari negeri
Cina (mencuri kesempatan di tikungan) juga datang dengan alasan ingin
melindungi warga negaranya yang bekerja di Indonesia. Perlu dipahami,
Cina sejak beberapa bulan lalu mulai mengirim banyak tenaga kerjanya ke
Indonesia. Bayangkan, tentara AS (plus sekutunya) dan tentara dari
negeri Cina melakukan operasi militer di Indonesia, akan seperti apa di
bumi Islam yang kita cintai ini.
Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)
Post a Comment