Politik dalam Demokrasi adalah Tujuan
Secara mendasar, manusia hidup di dunia ini adalah dalam rangka memenuhi dua hal yang melekat pada dirinya, yaitu kebutuhan jasmani (fisik) dan dorongan naluri. Untuk memenuhinya, manusia memerlukan dua hal, yaitu 'alat' untuk memenuhinya kebutuhan dan 'aktivitas' yang digunakan untuk memenuhinya. Alat dan aktivitas manusia itu banyak jenisnya. Ada yang sifatnya baku (tetap, tidak bisa digantikan yang lain), ada yang sifatnya tidak baku (fleksibel). Maka, manusia harus bisa mengidentifikasi atas berbagai alat dan aktivitas yang begitu banyak ini, agar dalam menjalani kehidupan, hidup manusia terarah, terukur, dan tidak berakhir menjadi hal-hal yang kurang bermanfaat.
Contohnya lapar. Lapar adalah salah satu indikasi keberadaan kebutuhan jasmani (fisik). Setiap manusia, selama dia hidup, dia akan merasakan lapar. Maka manusia harus mencari 'alat' dan 'aktivitas' yang bisa membuatnya tidak lagi lapar. Untuk alatnya, tentu bisa berbagai macam alat. Bisa dengan ubi (singkong), nasi, roti, ketela, jagung, sereal, atau yang lainnya. Sedangkan untuk aktivitasnya, hanya satu yang bisa digunakan untuk memenuhinya, yaitu makan. Maka, makan ini menjadi aktivitas yang bersifat tetap atau baku. Sebab, aktivitas makan tidak bisa diganti dengan minum atau tidur. Sekalipun orang minum air seember atau tidur 10 jam, tetap tidak akan bisa menjadi 'obat' lapar. Jadi, makan ini menjadi aktivitas baku manusia yang tidak bisa diganti dengan aktivitas lain. Adapun cara makannya seperti apa; apakah harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, dan makan malam), atau dua kali sehari, atau selalu makan setiap kali merasa lapar, ini adalah cara-cara makan yang sifatnya fleksibel, beragam cara bisa ditempuh. Maka, aktivitas makan, mau tidak mau tetap harus ditempuh manusia. Tetapi, makan bukanlah sesuatu yang hendak dituju (makan bukanlah tujuan). Sebab, akhir atau ending dari aktivitas makan, adalah tercapainya rasa lapar. Bukan aktivitas makan itu sendiri. Dengan kata lain, tujuan orang makan adalah menghilangkan lapar, bukan 'memenuhi aktivitas makan'. Misalnya, kita makan siang, semata-mata karena saat itu kita lapar. Bukan karena 'jam makan siang'. Seandainya saja, kita makan pagi terlalu banyak sehingga pada siang hari kita tidak merasa lapar, namun kita tetap memaksakan diri untuk makan, maka makan siang kita ini tujuannya bukanlah menghilangkan rasa lapar, tetapi tujuannya adalah ‘memenuhi cara makan’ yaitu makan tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam).
Dari sinilah kita bisa membedakan, ada begitu perbedaan berbagai alat dan aktivitas dalam kehidupan manusia. Bahkan tujuan juga termasuk di dalamnya. Karena itulah, seorang politikus Timur Tengah, Taqiyuddin An-Nabhani membedakan antara tujuan (ghayah), metode (thariqah), cara atau gaya (uslub), dan sarana (wasilah). Pembedaan ini akan sangat menentukan bagaimana manusia berbuat atau berperilaku. Tujuan (ghayah) adalah apa-apa yang ingin dicapai. Tujuan adalah ending dari segala usaha. Tujuan disebut dengan ghayah. Aktivitas atau ‘alat’ yang bersifat baku dan tidak bisa digantikan yang lain dalam rangka memenuhi tujuan (ghayah), disebut dengan istilah metode (thariqah/jalan). Pemakaian kata ‘alat’ dalam tanda kutip di sini hanya untuk memudahkan memahami, bukan alat yang dimaksud dalam konteks sarana (wasilah). Dalam Islam, thariqah merupakan hukum syara’ tertentu yang harus (wajib) dilakukan. Sedangkan aktivitas yang bersifat fleksibel atau tidak baku dalam rangka meraih tujuan, disebut dengan cara/gaya (uslub). Sementara berbagai sarana dan prasarana yang digunakan untuk meraih tujuan disebut dengan sarana (wasilah). Wasilah dan uslub ini sangat berkaitan erat. Sebab, membahas tentang wasilah, tidak akan bisa dilepaskan dari membahas tentang uslub.
Ketika sekelompok manusia mulai berpikir, bahwa kumpulan individu-individu ini harus ada yang mengurus (agar tidak terjadi konflik horizontal, agar tercipta kesejahteraan, agar tegak keadilan), maka aktivitas mengurus urusan individu-individu ini termasuk dalam aktivitas manusia secara umum. Karena itu, harus ada pemimpin atau kepemimpinan yang mengurusi kumpulan individu tersebut. Pemimpin atau kepemimpinan inilah yang disebut dengan politik. Sampai di sini, hendaknya manusia berpikir, mana yang merupakan tujuan, mana yang merupakan metode, uslub, dan wasilah. Dengan begitu, manusia tidak melakukan sesuatu yang sia-sia dalam beraktivitas.
Idealnya, terciptanya kesejahteraan, penyelesaian konflik, dan tegaknya keadilan, adalah tujuan (ghayah) dari sebuah amal (aktivitas). Dengan begitu, manusia bisa mengalihkan perhatiannya untuk menentukan, metode apa yang harus ditempuh? Ingat, metode (thariqah) adalah jalan baku, yang tidak ada jalan lain selain jalan tersebut. Maka, bisa diketahui bahwa politik atau kekuasaan, adalah sebuah jalan atau metode (thariqah) yang harus ditempuh demi tercapainya tujuan (ghayah). Sebab, tanpa adanya politik atau kekuasaan, maka tujuan (ghayah) tidak akan tercapai. Bagaimana dengan pendirian partai politik atau lembaga sosial, yang mereka sering terlihat menyalurkan bantuan-bantuan sosial untuk masyarakat? Partai politik atau lembaga sosial, hanya bisa memberikan bantuan, semampu mereka saja. Jadi sangat terbatas sekali. Apalagi partai politik, kebanyakan dari mereka hanya memberikan bantuan saat menjelang pemilu atau pilkada saja. Jadi, partai politik atau lembaga sosial, tetap tidak bisa menggantikan keberadaan institusi yang memiliki politik atau kekuasaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa politik atau kekuasaan, adalah metode atau jalan (thariqah) untuk mewujudkan tujuan (ghayah).
Sampai di sini, seharusnya kita bisa mengevaluasi cara berpolitik dalam negara demokrasi seperti apa. Kebanyakan politisi di negara demokrasi, telah salah dalam memandang politik. Mereka memandang politik sebagai tujuan (ghayah), ending dari amal (aktivitas). Hal itu terlihat dari perilaku berpolitik mereka yang begitu bersemangat dalam berusaha meraih kekuasaan (politik). Berbagai potensi yang dimiliki, mereka kerahkan semaksimal mungkin dalam rangka mewujudkan tujuan mereka. Apa itu? Yaitu politik atau kekuasaan. Kita bisa melihat, setiap kali akan dihelat perhelatan akbar demokrasi, yaitu pemilu atau pilkada, para politisi ini begitu sibuk. Sibuk sekali. Tenaga, waktu, harta mereka keluarkan sedemikian besar. Sebagai pengingat saja, untuk biaya pemilu di Indonesia tahun 2014, telah menghabiskan biaya sebesar 14 triliyun rupiah. Bisa dibayangkan, betapa besar biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pesta demokrasi ini. Ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing person yang maju dalam perhelatan tersebut. Mereka harus mengeluarkan biaya miliyaran rupiah, jual ini dan itu, utang ke sana kemari kepada penyokong dana. Dengan berbagai pengorbanan yang luar biasa ini, kita bisa memahami bahwa kekuasaan atau politik, telah dijadikan tujuan (ghayah). Sebab, tidak ada orang yang mati-matian mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu, kecuali dia memiliki tujuan. Seorang pelajar rela les kesana kemari dengan biaya mahal, bapaknya nyogok sana sini dengan biaya besar, tentu memiliki tujuan, misalnya agar diterima di perguruan tinggi favorit. Dan bagi para politisi demokrasi, dengan melihat realitas yang ada, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa politik atau kekuasaan dalam pandangan mereka, telah dijadikan tujuan (ghayah), dan bukan jalan (thariqah) untuk mewujudkan sesuatu yang seharusnya dijadikan tujuan. Padahal, dimana-mana, ketika tujuan sudah dicapai, so what? Tidak ada. Tidak ada lagi yang dilakukan, karena tujuannya memang sudah tercapai. Aktivitas para politisi setelah tujuan mereka tercapai, seolah hanyalah menjadi formalitas belaka. Kunjungan kerja ke sana kemari, gariskan kebijakan ini dan itu, yang kalau dilihat kembali, bertolak belakang dengan tujuan yang seharusnya mereka capai. Kesibukan mereka setelah tujuan tercapai, tidak lebih sibuk dari sebelum Kita bisa melihat, untuk menghelat pesta demokrasi 2014 yang menghabiskan 14 triliyun, hasilnya adalah utang negara yang terus menumpuk, begitu banyak penjualan aset-aset negara atau aset rakyat, atau pencabutan subsidi untuk rakyat. Begitulah akibatnya, ketika orang tidak memahami dan tidak bisa membedakan mana yang seharusnya menjadi tujuan, dan mana yang seharusnya tidak dijadikan tujuan.
Dan kini, Indonesia akan segera disibukkan dengan pesta demokrasi pilkada serentak 2018. Namanya juga pesta, tentu membutuhkan biaya besar. Berapa biayanya? Masih dikalkulasi lagi. Tetapi yang pasti lebih dari 15 triliyun akan dikeluarkan. Menurut Sekjen Otonomi Daerah Kemendagri, biayanya bahkan akan bisa mencapai 20 triliyun. Sementara itu, pemilu 2019 biayanya juga sudah diperkirakan akan menghabiskan sekitar 15 triliyun. Luar biasa! Biaya sedemikian besar, akan bisa menjadi sia-sia, hilang begitu saja, ketika tujuan yang seharusnya dicapai, ternyata dialihkan untuk hal-hal yang tidak boleh dijadikan tujuan.
Politik dalam Islam adalah Jalan, bukan Tujuan
Hal ini tentu berbeda dengan cara Islam memandang politik. Politik dalam Islam disebut dengan siyaasah, yang memiliki makna mengatur atau memelihara. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani memandang bahwa politik adalah pengaturan urusan masyarakat, baik ke dalam (negeri) maupun ke luar (negeri). Definisi ini diambil dari berbagai dalil syara'. Misalnya, Rasulullah saw. bersabda: Kaanat banuu Israaiila tasuusuhum al-anbiyaa' (dulu Bani Israil selalu dipimpin dan diatur oleh para nabi). Makna dari frasa tasuusuhum al-anbiyaa' adalah mengatur suatu urusan sebagaimana yang dilakukan pemimpin dan wali. Dengan melihat definisi politik ini, maka akan tergambar bahwa menurut An-Nabhani, politik adalah suatu jalan (thariqah) untuk mengurusi urusan masyarakat. Itu artinya, politik atau kekuasaan, bukanlah tujuan (ghayah). Dan tujuan (ghayah) dari politik Islam adalah untuk menerapkan syariat Islam.
Syariat Islam adalah aturan-aturan Islam. Aturan-aturan Islam mengatur seluruh aspek dalam kehidupan manusia. Aspek-aspek dalam kehidupan manusia tercakup dalam tiga dimensi, yaitu dimensi hubungan manusia dengan Allah, dimensi hubungan manusia dengan dirinya sendiri (person), dan dimensi hubungan manusia dengan sesama manusia. Dimensi hubungan manusia dengan Allah tercakup dalam aturan tentang peribadatan. Dimensi hubungan manusia dengan dirinya sendiri tercakup dalam aturan tentang hukum-hukum makanan-minuman, pakaian, serta akhlak. Serta dimensi hubungan manusia dengan sesama manusia yang tercakup dalam muamalah dan uqubat. Muamalah adalah berbagai interaksi manusia dengan sesama manusia, mulai dari politik, ekonomi, sosial (pergaulan), pendidikan, keamanan, dan sebagainya. Sedangkan uqubat adalah sistem sanksi yang keberadaannya adalah sebagai penjaga agar sistem muamalah berjalan baik. Semua aspek ini ada dalam kehidupan manusia. Tidak ada satu aspek pun dalam kehidupan manusia yang tidak diatur oleh Islam. Seluruh aturan inilah yang harus diterapkan. Penerapannya hanya akan sempurna jika ada politik atau kekuasaan. Dan ini adalah tujuan dari perjuangan Islam. Jadi, tujuan dari perjuangan Islam yang seharusnya adalah menerapkan syariat Islam, bukan meraih kekuasaan. Sebab, kekuasaan bukanlah tujuan. Kekuasaan 'hanyalah' jalan untuk mewujudkan tujuan yang sebenarnya.
Dari situ bisa dipahami, bahwa jika tujuannya adalah menerapkan syariat Islam, dan yang akan menerapkan syariat Islam ini adalah manusia, maka tidak ada jalan (thariqah) lain selain dengan dakwah. Tanpa adanya dakwah, maka tujuan tidak akan bisa dicapai. Dari penjelasan di atas, bisa dipahami pula, bahwa jika sebuah organisasi dakwah, kok menjadikan politik (kekuasaan) sebagai tujuan, maka hal itu adalah sebuah kesalahan fatal. Sebab, kalau memang kekuasaan atau politik itu dijadikan tujuan (ghayah), sudah selayaknya organisasi tersebut bukan berbentuk organisasi dakwah, melainkan berbentuk organisasi militer atau semimiliter. Karena dengan begitu, maka kekuasaan atau kepemimpinan politik akan bisa dicapai dengan kudeta atau perebutan kekuasaan. Sedangkan organisasi dakwah, yang mau dikudeta apa? Tidak ada. Maka, penting kiranya orang berpikir mendalam dalam perkara ini, agar setiap langkah yang diambil berdasarkan perhitungan yang rasional, bukan emosional. Sebab, ketika orang sudah tidak rasional, maka tindakan-tindakannya cenderung akan menjadi emosional. Jadi, mari berpikir jernih.
Dengan demikian, penting untuk kita melihat kembali bagaimana politik itu dipandang, apakah sebagai sebuah tujuan ataukah sebagai jalan untuk mewujudkan tujuan.
Wallahu a'lam.